Abstrak
Kurva Spee adalah lengkung oklusal fisiologis yang penting dalam keseimbangan oklusi. Variasi kedalamannya dapat memengaruhi efisiensi mastikasi dan perencanaan ortodontik, terutama pada kasus maloklusi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kedalaman Kurva Spee pada pasien dengan maloklusi klas I, II, dan III di RSGMP FKG Universitas ABC. Hasil menunjukkan bahwa kedalaman Kurva Spee berbeda signifikan antar kelompok, dengan klas II memiliki kedalaman tertinggi dan klas III yang paling rata. Temuan ini penting dalam perencanaan intervensi ortodontik yang presisi.
Pendahuluan
Kurva Spee merupakan lengkung oklusal anteroposterior yang dimulai dari tepi insisal gigi insisivus bawah hingga puncak kuspa distal molar kedua bawah. Lengkung ini berperan dalam fungsi oklusi, distribusi gaya kunyah, dan estetika wajah. Variasi dalam kedalaman Kurva Spee sering ditemukan pada berbagai jenis maloklusi dan dapat memengaruhi strategi koreksi ortodontik.
Maloklusi klas I ditandai dengan hubungan molar yang normal namun dengan adanya gangguan posisi gigi lainnya, klas II dicirikan oleh protrusi mandibula relatif terhadap maksila, sedangkan klas III menunjukkan protrusi mandibula atau retrusi maksila. Perbedaan posisi skeletal dan dental pada masing-masing klas ini diduga menyebabkan variasi morfologi lengkung oklusal, termasuk kedalaman Kurva Spee.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan kedalaman Kurva Spee pada pasien dengan maloklusi klas I, II, dan III, sehingga dapat memberikan dasar ilmiah bagi pendekatan ortodontik individual.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan deskriptif analitik. Sampel terdiri dari 60 model studi pasien (n = 20 untuk masing-masing klas I, II, dan III) yang telah didiagnosis berdasarkan klasifikasi Angle di RSGMP FKG Universitas ABC.
Kriteria inklusi:
- Usia 18–35 tahun
- Belum menjalani perawatan ortodontik
- Tidak ada kehilangan gigi posterior permanen
Kedalaman Kurva Spee diukur menggunakan digital caliper dari bidang horizontal antara ujung tepi insisal gigi insisivus bawah hingga puncak kuspa distobukal molar kedua bawah, dengan pengukuran vertikal dari titik terdalam kurva.
Data dianalisis menggunakan uji ANOVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey jika terdapat perbedaan signifikan.
Hasil
Rerata kedalaman Kurva Spee pada masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:
- Klas I: 2,10 ± 0,34 mm
- Klas II: 3,25 ± 0,41 mm
- Klas III: 1,45 ± 0,28 mm
Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik antara ketiga kelompok (p < 0,001). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa semua perbandingan antar kelompok juga signifikan, dengan klas II memiliki kedalaman Kurva Spee paling besar, dan klas III paling datar.
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi antara tipe maloklusi dan morfologi Kurva Spee. Kedalaman Kurva Spee yang lebih besar pada maloklusi klas II dapat dijelaskan oleh overeruption gigi posterior akibat underuse fungsional mandibula. Sebaliknya, pada klas III, proklinasi insisivus bawah dan kecenderungan oklusi silang anterior menyebabkan lengkung oklusal lebih datar.
Pemahaman tentang variasi ini penting dalam perencanaan leveling lengkung selama fase ortodontik, terutama untuk menghindari overcorrection yang dapat memengaruhi stabilitas jangka panjang. Koreksi Kurva Spee yang tidak tepat dapat menyebabkan relaps atau ketidakseimbangan oklusal pasca perawatan.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan signifikan dalam kedalaman Kurva Spee pada maloklusi klas I, II, dan III. Maloklusi klas II menunjukkan kedalaman Kurva Spee yang paling besar, sedangkan klas III paling kecil. Temuan ini dapat dijadikan referensi penting dalam diagnosis dan perencanaan perawatan ortodontik berbasis individual.